Semalam penuh aku tak bisa memejamkan mata. Suara rintik hujan dan lantunan merdu lagu-lagu bunga tidur begitu syahdu dalam kepala. Ah, andai semua ini tak terjadi, tentu aku tidak akan terperosok sendiri dalam keheningan ini. Jarak adalah harga mahal yang harus aku bayar. Dan rindu, apakah yang bisa aku ungkapkan lagi selain keinginan bertemu yang begitu menderu?
Perlahan semuanya memudar. Mataku kembali terbuka dan hanya sinar mentari dari
ventilasi yang kulihat pagi ini. Terbangun di pagi yang sama. Tanpa kamu dan
kenangan kita. Keributan di kamar sebelah rasanya tak cukup keras daripada
keributan dalam kepalaku. Aku pusing. Lapar. Juga rindu. Ini hari kesekian yang
aku lalui tanpa kecupan hangat yang senantiasa mendarat di dahi. Begitu dahsyat
rindu ini sehingga seakan meluluhlantakan seluruh tulang-tulangku.
Kuamati lagi dinding beku ini. Semalam begitu nyata. Kau hadir dalam kepala dan
sialnya, ketika aku menyadari dan membuka nurani, semuanya lenyap seakan mimpi.
Dinding yang telah hampir 3 bulan ini berteman sunyi, seakan menjadi lebih
bersahabat pagi ini. Riuh rendah suara bocah tetangga sebelah menyadarkanku dari
lamunan. Ya, ini saatnya aku kembali berjalan-jalan di tengah kota, beradu
dengan panasnya mentari, kepakan debu dan basah bila hujan mendera.
Tik, sudah sebulan aku mencarimu di kota ini. Kau bilang kau disini, tapi
ketika aku menyusulmu, kau hilang bagai gelembung yang pecah di udara. Tik,
apakah kau lupa janji yang pernah kau katakan dulu? Bahwa kau akan kembali,
pulang dan menenangkan aku. Tik, aku limbung tanpamu kini.
Disini begitu kejam, bahkan kemarin aku tak makan seharian. Pekerjaan apapun
aku lakukan demi bertahan disini untuk menemukanmu. Dalam pesan singkatmu
terakhir kali, kau bilang kaupun tengah mencari sesuap nasi. Apakah nasi yang
kau cari itu telah kau temukan? Mengapa kau tak kunjung pulang? Aku rindu
bibirmu yang merah dan manis itu. Kapan aku bisa mengecupnya lagi?
***
“Yan, ngelamun saja kerjaan kau? Sudah kau cuci mobil pak Dirut hah? Kupecat
baru tahu rasa kau.”
Begitulah Tik, makian demi makian aku terima berulang kali, pun tak pernah aku
dengarkan karena aku memiliki harapan akanmu, Tik. Kuharap besok aku
menemukanmu, dan aku kembali bisa memeluk tubuh molekmu lagi.
***
Malam menjelma menjadi bintang, dalam kamar 3x3 ini aku termenung sendiri
memikirkan hari esok yang tak kunjung bersinar. Tik, andai kata aku tak gegabah
untuk mencarimu, mungkin aku masih di rumah dengan nasi dan pindang goreng
sambal kesukaanku, tapi Tik, ini semua demi kamu. Kamu yang kabur demi melihat
kekuranganku. Kamu yang pergi tanpa melihat bahwa aku disini untukmu. Ah,
kenapa aku harus sedemikian melankolis ketika mengingatmu, Tik? Kau buat aku
merindu sendiri. Kau buat aku menderita dengan semua harapan ini.
Malam, cepatlah berlaku agar aku bisa segera menemukan Atika-ku. Hingga tibalah
hari itu datang…
***
“TOLONG COPET.. COPET TOLONGG..” lolongan dan keroyokan dalam kepalaku seakan
memenuhi dan meracuniku Tik.
Maafkan aku Tik, aku
mencintaimu dan mengharapkan kau kembali, tapi mengapa yang terakhir kali
kulihat adalah tangan-tangan besar yang menjamah tubuh dan wajahku. Kemudian
semuanya gelap, Tik.
***
Aku terbangun dalam ruangan pengap yang lebih panas daripada kamar kita setelah
bercinta. Aku terbangun karena guyuran air di kepala. Dengan wajah babak belur
dan memar yang tak terperikan lagi. Tik, aku hanya mencoba merengkuh tanganmu
saat itu, aku tak bermaksud untuk melukaimu. Kulihat kau berjalan molek tanpa
sekalipun mengedipkan mata. Aku yakin itu kau Tik, dengan wajah polosmu yang
kini disapu bedak mahal, dengan baju berwarna indah yang melekat pada tubuh cantikmu
yang pernah kujamah. Tik, kau bersama lelaki asing yang berpakaian necis dengan
kacamata. Tik.. setidaknya aku melihatmu, mengenggam tanganmu, meski kini aku
mendekam dalam penjara...
Byazizah
Sen, 26 Jun 2017 10.51 |
|
No comments:
Post a Comment